Kamis, 09 Mei 2013

KONSEP SEHAT SAKIT MENURUT WHO

KONSEP SEHAT SAKIT MENURUT WHO

Menurut WHO (1947) Sehat itu sendiri dapat diartikan bahwa suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan (WHO, 1947).

Definisi WHO tentang sehat mempunyai karakteristik berikut yang dapat meningkatkan konsep sehat yang positif (Edelman dan Mandle. 1994) :

  1. Memperhatikan individu sebagai sebuah sistem yang menyeluruh.

  2. Memandang sehat dengan mengidentifikasi lingkungan internal dan eksternal.

  3. Penghargaan terhadap pentingnya peran individu dalam hidup.

SEHAT MENURUT DEPKES RI

UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa :

Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur –unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan

Dalam pengertian yang paling luas sehat merupakan suatu keadaan yang dinamis dimana individu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan internal (psikologis, intelektua, spiritual dan penyakit) dan eksternal  (lingkungan fisik, social, dan ekonomi) dalam mempertahankan kesehatannya.


. Definisi sakit: seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun (kronis), atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas kerja/kegiatannya terganggu. Walaupun seseorang sakit (istilah sehari -hari) seperti masuk angin, pilek, tetapi bila ia tidak terganggu untuk melaksanakan kegiatannya, maka ia di anggap tidak sakit(2).

Pengertian sakit menurut etiologi naturalistik dapat dijelaskan dari segi impersonal dan sistematik, yaitu bahwa sakit merupakan satu keadaan atau satu hal yang disebabkan oleh gangguan terhadap sistem tubuh manusia




CIRI-CIRI SEHAT

                        Kesehatan fisik terwujud apabila sesorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak mengalami gangguan.

                        Kesehatan mental (jiwa) mencakup 3 komponen, yakni pikiran, emosional, dan spiritual.

1.      Pikiran sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran.

2.      Emosional sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya, misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya.

3.      Spiritual sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, kepercayaan dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam fana ini, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa (Allah SWT dalam agama Islam). Misalnya sehat spiritual dapat dilihat dari praktik keagamaan seseorang.

4.      Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan menghargai.

5.      Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat bila seseorang (dewasa) produktif, dalam arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya secara finansial. Bagi mereka yang belum dewasa (siswa atau mahasiswa) dan usia lanjut (pensiunan), dengan sendirinya batasan ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, bagi kelompok tersebut, yang berlaku adalah produktif secara sosial, yakni mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan mereka nanti, misalnya berprestasi bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan sosial, keagamaan, atau pelayanan kemasyarakatan lainnya bagi usia lanjut.


Paradigma sehat

paradigma sehat adalah cara pandang atau pola pikir pembangunan kesehatan yang bersifat holistik, proaktif antisipatif, dengan melihat masalah kesehatan sebagai masalah yang dipengaruhi oleh banyak faktor secara dinamis dan lintas sektoral, dalam suatu wilayah yang berorientasi kepada peningkatan pemeliharaan dan per - lindungan terhadap penduduk agar tetap sehat dan bukan hanya penyembuhan penduduk yang sakit.

Pada intinya paradigma sehat memberikan perhatian utama terhadap kebijakan yang bersifat pencegahan dan promosi kesehatan, memberikan dukungan dan alokasi sumber daya untuk menjaga agar yang sehat tetap sehat namun teta p mengupayakan yang sakit segera sehat. Pada prinsipnya kebijakan tersebut menekankan pada masyarakat untuk mengutamakan kegiatan kesehatan daripada mengobati penyakit. Telah dikembangkan pengertian tentang penyakit yang mempunyai konotasi biomedik dan sosio kultural.

Aspek-aspek pendukung kesehatan

            Banyak orang berpikir bahwa sehat adalah tidak sakit, maksudnya apabila tidak ada gejala penyakit yg terasa berarti tubuh kita sehat. Padahal pendapat itu kurang tepat. Ada kalanya penyakit baru terasa setelah cukup parah, seperti kanker yg baru diketahui setelah stadium 4. Apakah berarti sebelumnya penyakit kanker itu tidak ada? Tentu saja ada, tetapi tidak terasa. Berarti tidak adanya gejala penyakit bukan berarti sehat.
            Sesungguhnya sehat adalah suatu kondisi keseimbangan, di mana seluruh sistem organ di tubuh kita bekerja dengan selaras. Faktor-faktor yg mempengaruhi keselarasan tersebut berlangsung seterusnya adalah:

1.      Nutrisi yang lengkap dan seimbang

2.      Istirahat yang cukup

3.      Olah Raga yang teratur

4.      Kondisi mental, sosial dan rohani yang seimbang

5.      Lingkungan yang bersih


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEYAKINAN DAN TINDAKAN KESEHATAN

1. Faktor Internal

a.      Tahap Perkembangan

Artinya status kesehatan dapat ditentukan oleh faktor usia dalam hal ini adalah pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian setiap rentang usia (bayi-lansia) memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda.

Untuk itulah seorang tenaga kesehatan (perawat) harus mempertimbangkan tingkat pertumbuhan dan perkembangan klien pada saat melakukan perncanaan tindakan. Contohnya: secara umum seorang anak belum mampu untuk mengenal keseriusan penyakit sehingga perlu dimotivasi untuk mendapatkan penanganan atau mengembangkan perilaku pencegahan penyakit..

b.      Pendidikan atau Tingkat Pengetahuan

Keyakinan seseorang terhadap kesehatan terbentuk oleh variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan tentang berbagai fungsi tubuh dan penyakit , latar belakang pendidikan, dan pengalaman masa lalu.

Kemampuan kognitif akan membentuk cara berfikir seseorang termasuk kemampuan untuk memehami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan tentang kesehatan  untuk menjaga kesehatan sendirinya.

c.       Persepsi tentang fungsi

Cara seseorang merasakan fungsi fisiknya akan berakibat pada keyakinan terhadap kesehatan dan cara melak­sanakannya. Contoh, seseorang dengan kondisi jantung yang kronik merasa bahwa tingkat kesehatan mereka berbeda dengan orang yang tidak pernah mempunyai masalah kesehatan yang berarti. Akibatnya, keyakinan terhadap kesehatan dan cara melaksanakan kesehatan pada masing-masing orang cenderung berbeda-beda. Selain itu, individu yang sudah berhasil sembuh dari penyakit akut yang parah mungkin akan mengubah keyakinan mereka terhadap kesehatan dan cara mereka melaksanakannya.

Untuk itulah perawat mengkaji tingkat kesehatan klien, baik data subjektif yiatu tentang cara klien merasakan fungsi fisiknya (tingkat keletihan, sesak na­pas, atau nyeri), juga data objektif   yang aktual (seperti, tekanan darah, tinggi badan, dan bunyi paru). Informasi ini memungkinkan perawat me­rencanakan dan mengimplementasikan perawatan klien secara lebih berhasil.

d.      Faktor Emosi

Faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan terhadap kesehatan dan cara melaksanakannya.

Seseorang yang mengalami respons stres dalam setiap perubahan hidupnya cenderung berespons terhadap berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan cara mengkhawa­tirkan bahwa penyakit tersebut dapat mengancam kehidu­pannya.

Seseorang yang secara umum terlihat sangat tenang mungkin mempunyai respons emosional yang kecil selama ia sakit.

Seorang individu yang tidak mampu mela­kukan koping secara emosional terhadap ancaman penya­kit mungkin akan menyangkal adanya gejala penyakit pada dirinya dan tidak mau menjalani pengobatan. Con­toh: seseorang dengan napas yang terengah-engah dan se­ring batuk mungkin akan menyalahkan cuaca dingin jika ia secara emosional tidak dapat menerima kemungkinan menderita penyakit saluran pernapasan. Banyak orang yang memiliki reaksi emosional yang berlebihan, yang berlawanan dengan kenyataan yang ada, sampai-sampai mereka berpikir tentang risiko menderita kanker dan akan menyangkal adanya gejala dan menolak untuk mencari pengobatan. Ada beberapa penyakit lain yang dapat lebih diterima secara emosional, sehingga mereka akan menga­kui gejala penyakit yang dialaminya dan mau mencari pengobatan yang tepat.

e.       Spiritual

Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau teman, dan kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.

Spiritual bertindak sebagai suatu tema yang terintegrasi dalam kehidupan seseorang. Spiritual seseorang akan mempengaruhi cara pandangnya terhadap kesehatan dilihat dari perspektif yang luas. Fryback (1992) menemukan hubungan kesehatan dengan keya­kinan terhadap kekuatan yang lebih besar, yang telah memberikan seseorang keyakinan dan kemampuan untuk mencintai. Kesehatan dipandang oleh beberapa orang sebagai suatu kemampuan untuk menjalani kehidupan secara utuh. Pelaksanaan perintah agama merupakan suatu cara seseorang berlatih secara spiritual.

Ada beberapa agama yang melarang penggunaan bentuk tindakan pengobatan tertentu, sehingga perawat hams memahami dimensi spiritual klien sehingga mereka dapat dilibatkan secara efektif dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.

2. Faktor Eksternal

a.      Praktik di Keluarga

Cara bagaimana keluarga menggunakan pelayanan kesehatan biasanya mempengaruhi cara klien dalam melaksanakan kesehatannya.

Misalnya:

o   Jika seorang anak bersikap bahwa setiap virus dan penyakit dapat berpotensi mejadi penyakit berat  dan mereka segera mencari pengobatan, maka bisasnya anak tersebut akan malakukan hal yang sama ketika mereka dewasa.

o   Klien juga kemungkinan besar akan melakukan tindakan pencegahan jika keluarganya melakukan hal yang sama. Misal: anak yang selalu diajak orang tuanya untuk melakukan pemeriksaan kesehatan  rutin, maka ketika punya anak dia akan melakukan hal yang sama.

b.      Faktor Sosioekonomi

Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit dan mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya.

Variabel psikososial mencakup: stabilitas perkawinan, gaya hidup, dan lingkungan kerja.

Sesorang biasanya akan mencari dukungan dan persetujuan dari kelompok sosialnya, hal ini akan mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara pelaksanaannya.

c.       Latar Belakang Budaya

Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai dan kebiasaan individu, termasuk sistem pelayanan kesehatan dan cara pelaksanaan kesehatan pribadi.

Untuk perawat belum menyadari pola budaya yang berhubungan dengan perilaku dan bahasa yang digunakan.

Rentang sehat –sakit

ü  Suatu skala ukur secara relative dalam mengukur keadaan sehat/kesehatan seseorang.

ü  Kedudukannya pada tingkat skala ukur : dinamis dan  bersifat individual.

ü  Jarak dalam skala ukur : keadaan sehat secara optimal pada satu titik dan kematian pada titik  yang lain.


tahapan sakit menurut Suchman

1.                  terbagi menjadi 5 tahap yaitu Tahap mengalami gejala

ü   Tahap transisi : individu percaya bahwa ada kelainan dalam tubuhnya ; merasa dirinya tidak sehat/merasa timbulnya berbagai gejala/merasa ada bahaya.

ü  Mempunyai 3 aspek :

Ø  Secara fisik : nyeri, panas tinggi

Ø  Kognitif : interprestasi terhadap gejala

Ø  Respon emosi terhadap ketakutan/kecemasan

ü  Konsultasin dengan orang terdekat : gejala + perasaan, kadang-kadangh mencoba pengobatan di rumah.


2.                  tahap asumsi terhadap peran sakit (sick Role)

ü  Penerimaan terhadap sakit

ü  Individu mencari kepastian sakitnya keluarga atau teman : menghasilkan peran sakit.

ü  Mencari pertolongan dari profesi kesehatan, yang lain mengobati sendiri, mengikuti nasehat teman/keluarga.

ü  Akhir dari tahap ini dapat ditemukan bahwa gejala telah berubah dan merasa lebih baik. Invidu masih mencari penegasan dari keluarga tentang sakitnya. Rencana pengobatan dipenuhi/dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman selanjutnya.

3.                  Tahap kontak dengan pelayanan kesehatan.

ü  Individu yang sakit : meminta nasehat dari profesi kesehatan atas inisiatif sendiri.

ü  3 tipe informasi

Ø  validasi keadaan sakit

Ø  Penjelasan tentang gejala yang tidak dimengerti

Ø  Keyakinan bahwa mereka akan baik

ü  Jika tidak ada gejala : individu mempersepsikan dirinya sembuh jika ada gejala kembali pada profesi kesehatan.


Tahap ketergantungan

Jika profesi kesehatan memvalidasi (memantapkan) bahwa seseorang sakuit : menjadi pasien yang tergantung untuk memperoleh bantuan.


Setiap orang mempunyai tingkat ketergantungan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan.


4.                  Tahap penyembuhan

ü  Pasien belajar untuk melepaskan peran sakit dan kembali pada peran sakit dan fungi sebelum sakit.

ü  Kesiapan untuk fungsi social.


Perawat – Membantu pasien untuk berfungsi dengan meningkatkan kemandirian

                -                   Memberi harapan dan support.



D. SAKIT DAN PERILAKU SAKIT

Sakit adalah keadaan dimana fisik, emosional, intelektual, sosial, perkembangan, atau seseorang berkurang atau terganggu, bukan hanya keadaan terjadinya proses penyakit.

Oleh karena itu sakit tidak sama dengan penyakit. Sebagai contoh klien dengan Leukemia yang sedang menjalani pengobatan mungkin akan mampu berfungsi seperti biasanya, sedangkan klien lain dengan kanker payudara yang sedang mempersiapkan diri untuk menjalanaio operasi mungkin akan merasakan akibatnya pada dimensi lain, selain dimensi fisik.

Perilaku sakit merupakan perilaku orang sakit yang meliputi: cara seseorang memantau tubuhnya; mendefinisikan dan menginterpretasikan gejala yang dialami; melakukan upaya penyembuhan; dan penggunaan sistem pelayanan kesehatan.

Seorang individu yang merasa dirinya sedang sakit perilaku sakit bisa berfungsi sebagai mekanisme koping.

Bauman (1965)

Seseorang menggunakan tiga criteria untuk menentukan apakah mereka sakit :

1.                  Adanya gejala : naiknya temperature, nyeri

2.Persepsi tentang bagaimana mereka merasakan : baik, buruk, sakit

3.Kemampuan untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari : bekerja, sekolah.


CIRI-CIRI SAKIT

1.         Individu percaya bahwa ada kelainan dalam tubuh ; merasa dirinya tidak sehat / merasa timbulnya berbagai gejala merasa adanya bahaya.
Mempunyai 3 aspek :
- secara fisik : nyeri, panas tinggi.
- Kognitif : interprestasi terhadap gejala.
- Respons emosi terhadap ketakutan / kecamasan.

2.         Asumsi terhadap peran sakit (sick Rok).Penerimaan terhadap sakit.



Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Sakit

  1. Faktor Internal

    1. Persepsi individu terhadap gejala dan sifat sakit yang dialami

Klien akan segera mencari pertolongan jika gejala tersebut dapat mengganggu rutinitas kegiatan sehari-hari.

Misal: Tukang Kayu yang menderitas sakit punggung, jika ia merasa hal tersebut bisa membahayakan dan mengancam kehidupannya maka ia akan segera mencari bantuan.

Akan tetapi persepsi seperti itu dapat pula mempunyai akibat yang sebaliknya. Bisa saja orang yang takut mengalami sakit yang serius, akan bereaksi dengan cara menyangkalnya dan tidak mau mencari bantuan.

    1. Asal atau Jenis penyakit

Pada penyakit akut dimana gejala relatif singkat dan berat serta mungkin mengganggu fungsi pada seluruh dimensi yang ada, Maka klien bisanya akan segera mencari pertolongan dan mematuhi program terapi yang diberikan.

Sedangkan pada penyakit kronik biasany berlangsung lama (>6 bulan) sehingga jelas dapat mengganggu fungsi diseluruh dimensi yang ada. Jika penyakit kronik itu tidak dapat disembuhkan dan terapi yang diberikan hanya menghilangkan sebagian gejala yang ada,  maka klien mungkin tidak akan termotivasi untuk memenuhi rencana terapi yang ada.

  1. Faktor Eksternal

a.       Gejala yang Dapat Dilihat

Gajala yang terlihat dari suatu penyakit dapat mempengaruhi Citra Tubuh dan Perilaku Sakit.

Misalnya: orang yang mengalami bibir kering dan pecah-pecah mungkin akan lebih cepat mencari pertolongan dari pada orang dengan serak tenggorokan, karena mungkin komentar orang lain terhadap gejala bibir pecah-pecah yang dialaminya.

b.      Kelompok Sosial

Kelompok sosial klien akan membantu mengenali ancaman penyakit, atau justru meyangkal potensi terjadinya suatu penyakit.

Misalnya: Ada 2 orang wanita, sebut saja Ny. A dan Ny.B berusia 35 tahun yang berasal dari dua kelompok sosial yang berbeda telah menemukan adanya benjolan pada Payudaranya saat melakukan SADARI. Kemudian mereka mendisukusikannya dengan temannya masing-masing. Teman Ny. A mungkin akan mendorong mencari pengobatan  untuk menentukan apakah perlu dibiopsi atau tidak; sedangkan teman Ny. B mungkin akan mengatakan itu hanyalah benjolan biasa dan tidak perlu diperiksakan ke dokter.

c.       Latar Belakang Budaya

Latar belakang budaya dan etik mengajarkan sesorang bagaimana menjadi sehat, mengenal penyakit, dan menjadi sakit. Dengan demikian perawat perlu memahami latar  belakang budaya yang dimiliki klien.

d.      Ekonomi

Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang ia rasakan. Sehingga ia akan segera mencari pertolongan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya.

e.       Kemudahan Akses Terhadap Sistem Pelayanan

Dekatnya jarak klien dengan RS, klinik atau tempat pelayanan medis lain sering mempengaruhi kecepatan mereka dalam memasuki sistem pelayanan kesehatan.

Demikian pula beberapa klien enggan mencari pelayanan yang kompleks dan besar  dan mereka lebih suka untuk mengunjungi Puskesmas yang tidak membutuhkan prosedur yang rumit.

f.       Dukungan Sosial

Dukungan sosial disini meliputi beberapa institusi atau perkumpulan yang bersifat peningkatan kesehatan. Di institusi tersebut dapat dilakukan berbagai kegiatan, seperti seminar kesehatan, pendidikan dan pelatihan kesehatan, latihan (aerobik, senam POCO-POCO dll).

Juga menyediakan fasilitas olehraga seperti, kolam renang, lapangan Bola Basket, Lapangan Sepak Bola, dll.


Tahap-tahap Perilaku Sakit

  1. Tahap I (Mengalami Gejala)

o   Pada tahap ini pasien menyadari bahwa ”ada sesuatu yang salah ”

o   Mereka mengenali sensasi atau keterbatasan fungsi fisik tetapi belum menduga adanya diagnosa tertentu.

o   Persepsi individu terhadap suatu gejala meliputi: (a) kesadaran terhadap perubahan fisik (nyeri, benjolan, dll); (b) evaluasi terhadap perubahan yang terjadi dan memutuskan apakah hal tersebut merupakan suatu gejala penyakit; (c) respon emosional.

o   Jika gejala itu dianggap merupakan suatu gejal penyakit dan dapat mengancam kehidupannya maka ia akan segera mencari pertolongan.

  1. Tahap II (Asumsi Tentang Peran Sakit)

o   Terjadi jika gejala menetap atau semakin berat

o   Orang yang sakit akan melakukan konfirmasi kepada keluarga, orang terdekat atau kelompok sosialnya bahwa ia benar-benar sakit sehingga harus diistirahatkan dari kewajiban normalnya dan dari harapan terhadap perannya.

o   Menimbulkan perubahan emosional spt : menarik diri/depresi, dan juga perubahan fisik. Perubahan emosional yang terjadi bisa kompleks atau sederhana tergantung  beratnya penyakit, tingkat ketidakmampuan, dan perkiraan lama sakit.

o   Seseorang awalnya menyangkal pentingnya intervensi dari pelayanan kesehatan, sehingga ia menunda kontak dengan sistem pelayanan kesehatan à akan tetapi jika gejala itu menetap dan semakin memberat maka ia akan segera melakukan kontak dengan sistem pelayanan kesehatan dan berubah menjadi seorang klien.

  1. Tahap III (Kontak dengan Pelayanan Kesehatan)

o   Pada tahap ini klien mencari kepastian penyakit dan pengobatan dari seorang ahli, mencari penjelasan mengenai gejala yang dirasakan, penyebab  penyakit, dan implikasi penyakit terhadap kesehatan dimasa yang akan datang

o   Profesi kesehatan mungkin akan menentukan bahwa mereka tidak menderita suatu penyakit atau justru menyatakan jika mereka menderita penyakit yang bisa mengancam kehidupannya. à klien bisa menerima atau menyangkal diagnosa tersebut.

o   Bila klien menerima diagnosa mereka akan mematuhi rencan pengobatan yang telah ditentukan, akan tetapi jika menyangkal mereka mungkin akan mencari sistem pelayanan kesehatan lain, atau berkonsultasi dengan beberapa pemberi pelayanan kesehatan lain sampai mereka menemukan orang yang membuat diagnosa sesuai dengan keinginannya atau sampai mereka menerima diagnosa awal yang telah ditetapkan.

o   Klien yang merasa sakit, tapi dinyatakan sehat oleh profesi kesehatan, mungkin ia akan mengunjungi profesi kesehatan lain sampai ia memperoleh diagnosa yang diinginkan

o   Klien yang sejak awal didiagnosa penyakit tertentu, terutama yang mengancam kelangsungan hidup, ia akan mencari profesi kesehatan lain  untuk meyakinkan bahwa kesehatan atau kehidupan mereka tidak terancam. Misalnya: klien yang didiagnosa mengidap kanker, maka ia akan mengunjungi beberapa dokter  sebagai usaha klien menghindari diagnosa yang sebenarnya.



  1. Tahap IV (Peran Klien Dependen)

o   Pada tahap ini klien menerima keadaan sakitnya, sehingga klien bergantung pada pada pemberi pelayanan kesehatan untuk menghilangkan gejala yang ada.

o   Klien menerima perawatan, simpati, atau perlindungan dari berbagai tuntutan dan stress hidupnya.

o   Secara sosial klien diperbolehkan untuk bebas dari kewajiban dan tugas normalnya à semakin parah sakitnya, semakin bebas.

o   Pada tahap ini klien juga harus menyesuaikanny dengan perubahan jadwal sehari-hari. Perubahan ini jelas akan mempengaruhi peran klien di tempat ia bekerja, rumah maupun masyarakat.

  1. Tahap V (Pemulihan dan Rehabilitasi)

o   Merupakan tahap akhir dari perilaku sakit, dan dapat terjadi secara tiba-tiba, misalnya penurunan demam.

o   Penyembuhan yang tidak cepat, menyebabkan seorang klien butuh perawatan lebih lama sebelum kembali ke fungsi optimal, misalnya pada penyakit kronis.

Tidak semua klien melewati tahapan yang ada, dan tidak setiap klien melewatinya dengan kecepatan atau dengan sikap yang sama.  Pemahaman terhadap tahapan perilaku sakit akan membantu perawat  dalam mengidentifikasi perubahan-perubahan perilaku sakit klien dan bersama-sama klien membuat rencana perawatan yang efektif


E. DAMPAK SAKIT

  1. Terhadap Perilaku dan Emosi Klien

Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda tergantung pada asal penyakit, reaksi orang lain terhadap penyakit yang dideritanya, dan lain-lain.

Penyakit dengan jangka waktu yang singkat dan tidak mengancam kehidupannya akan menimbulkan sedikit perubahan perilaku dalam fungsi klien dan keluarga. Misalnya seorang Ayah yang mengalami demam, mungkin akan mengalami penurunan tenaga atau kesabaran untuk menghabiskan waktunya dalam kegiatan keluarga dan mungkin akan menjadi mudah marah, dan lebih memilih menyendiri.

Sedangkan penyakit berat, apalagi jika mengancam kehidupannya.dapat menimbulkan perubahan emosi dan perilaku yang lebih luas, seperti ansietas, syok, penolakan, marah, dan menarikd diri.

Perawat berperan dalam mengembangkan koping klien dan keluarga terhadap stress, karena stressor sendiri tidak bisa dihilangkan.

  1. Terhadap Peran Keluarga

Setiap orang memiliki peran dalam kehidupannya, seperti pencari nafkah, pengambil keputusan, seorang profesional, atau sebagai orang tua. Saat mengalami penyakit, peran-peran klien tersebut dapat mengalami perubahan.

Perubahan tersebut mungkin tidak terlihat dan berlangsung singkat atau terlihat secara drastis dan berlangsung lama. Individu / keluarga lebih mudah beradaftasi dengan perubahan yang berlangsung singkat dan tidak terlihat.

Perubahan jangka pendek à klien tidak mengalami tahap penyesuaian yang berkepanjangan. Akan tetapi pada perubahan jangka penjang à klien memerlukan proses penyesuaian yang sama dengan ’Tahap Berduka’.

Peran perawat adalah melibatkan keluarga dalam pembuatan rencana keperawatan.

  1. Terhadap Citra Tubuh

Citra tubuh merupakan konsep subjektif seseorang terhadap penampilan fisiknya. Beberapa penyakit dapat menimbulkan perubahan dalam penampilan fisiknya, dan klien/keluarga akan bereaksi dengan cara yang berbeda-beda terhadap perubahan tersebut.

Reaksi klien/keluarga etrhadap perubahan gambaran tubuh itu tergantung pada:

    • Jenis Perubahan (mis: kehilangan tangan, alat indera tertentu, atau organ tertentu)

    • Kapasitas adaptasi

    • Kecepatan perubahan

    • Dukungan yang tersedia.

  1. Terhadap Konsep Diri

Konsep Diri adalah citra mental seseorang terhadap dirinya sendiri, mencakup bagaimana mereka melihat kekuatan dan kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

Konsep diri tidak hanya bergantung pada gambaran tubuh dan peran yang dimilikinya tetapi juga bergantung pada aspek psikologis dan spiritual diri.

Perubahan konsep diri akibat sakit mungkin bersifat kompleks dan kurang bisa terobservasi dibandingkan perubahan peran.

Konsep diri berperan penting dalam hubungan seseorang dengan anggota keluarganya yang lain. Klien yang mengalami perubahan konsep diri  karena sakitnya mungkin tidak mampu lagi memenuhi harapan  keluarganya, yang akhirnya menimbulkan ketegangan dan konflik. Akibatnya anggiota keluarga akan merubah interaksi mereka dengan klien.

Misal: Klien tidak lagi terlibat  dalam proses pengambilan keputusan dikeluarga atau tidak akan merasa mampu memberi dukungan emosi pada anggota keluarganya yang lain atau kepada teman-temannya à klien akan merasa kehilangan fungsi sosialnya.

Perawat seharusnya mampu mengobservasi perubahan konsep diri klien, dengan mengembangkan rencana perawatan yann membantu mereka menyesuaikan diri dengan akibat dan kondisi yang dialami klien.

  1. Terhadap Dinamika Keluarga

Dinamika Keluarga meruapakan proses dimana keluarga melakukan fungsi, mengambil keputusan, memberi dukungan kepada anggota keluarganya, dan melakukan koping terhadap perubahan dan tantangan hidup sehari-hari.

Misal: jika salah satu orang tua sakit maka kegiatan dan pengambilan keputusan akan tertunda sampai mereka sembuh.

Jika penyakitnya berkepanjangan, seringkali keluarga harus membuat pola fungsi yang baru sehingga bisa menimbulkan stress emosional.

Misal: anak kecil akan mengalami rasa kehilangan yang besar jika salah satu orang tuanya tidak mampu memberikan kasih sayang dan rasa aman pada mereka. Atau jika anaknya sudah dewasa maka seringkali ia harus menggantikan peran mereka sebagai mereka termasuk kalau perlu sebagai pencari nafkah. 

6 komentar:

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
cara memperbesar alat vital pria tanpa obat mengatakan...

makasih artikelnya membantu sekali...

obat pembesar alat vital pria tradisional mengatakan...

artikelnya bagus mas,,,makasih

Anonim mengatakan...

ada daftar pustakanya gak ?

Artikel Kesehatan mengatakan...

Information that has been conveyed is very interesting to read and easy to understand, after I read this article now I so know and understand, the information conveyed can help for people who are looking for articles like this.